Berdasarkan bukti sejarah, maka dapat dipastikan bahwa Sejarah Indonesia sebenarnya harus dibagi tiga periode. Pertama periode Sriwijaya di Palembang, kedua Majapahit di Jawa Timur dan ketiga Gowa di Sulawesi Selatan.
Kerajaan Sriwijaya di abad VII - IX menguasai dinding Barat Nusantara, sedang Kerajaan Majapahit di abad ke IV - ke XV menguasai dinding Tengah dan Kerajaan Gowa di abad XVI - ke XVII menguasai dua pertiga Nusantara dari dinding sebelah Timur.
Tapi kebanyakan sejarawan kita membagi sejarah Nusantara ini hanya dalam dua periode yaitu periode Sriwijaya dan periode Majapahit. Ini suatu bukti, bahwa data sejarah sangat kurang kita dapati di Tanah Air mengenai periode ketiga ini. Data-data berbentuk "lontara" sejak lama digotong oleh penjajah ke Eropa. Data-data itu sebahagian besar dapat ditemukan di Museum di Belanda, Jerman, Perancis dan Inggris. Pengembalian dokumen sejarah Tanah Air dalam hubungan Kerajaan Gowa dan lain-lain kerajaan di bagian timur Indonesia harus diusahakan demikian rupa dengan tujuan agar generasi penerus kita dapat menerima sejarah Nasional yang sempurna.
Kerajaan Gowa di abad ke XVI - ke XVII berada di puncak kejayaannya, bagaikan suatu imperium yang terbentang dari Ibu kota Sombaopu ke pulau-pulau Kei di sebelah timur, ke selatan sampai ke Marege (bagian utara Australia), ke barat sampai ke Kutai, ke selatan sampai ke Lombok, Sumbawa dan Timor, ke utara sampai ke Pilipina selatan sekarang.
Kekuasaan yang besar ini ditopang oleh dua buah kerajaan bersaudara Gowa dan Tallo yang pada hakekatnya menurut peribahasa Makassar "Rua Karaeng na Se're Ata” (dua raja tetapi hanya satu rakyat). Raja Gowa didampingi oleh seorang Mangkubumi (Bahasa Makassar : Pa'bicara butta) yang secara otomatis dipangku oleh Raja Tallo.
Waktu permulaan terbentuknya kerajaan Gowa purba sampai sebelum diketahui dengan pasti, sebab lontara yang menerangkan hal itu sangat ringkas. Dalam lontara yang menerangkan tentang itu sangat ringkas. Dalam lontara hanya dikatakan, bahwa sebelum diperintah oleh seorang Ratu yang dinamai "Tumanurunga" yang turun dari kayangan, ada 4 raja yang mengendalikan pemerintahan Gowa purba. Keempat raja Gowa itu memerintah negeri negeri kecil bernama :
- Tombolo
- Lakiung
- Saumata
- Parang-Parang
- Data'
- Agang Je'ne'
- Bisei
- Kalling
- Sero'
Sesudah pemerintahan raja yang keempat tidak ada lagi raja yang menggantikannya. Gowa membentuk semacam federasi 9 negeri diketuai oleh seorang pejabat digelar ”Paccalaya".
Dari mana asal kata "Gowa" tidak ada yang autentik bisa dijadikan pegangan. Apakah perkataan itu bahasa Makassar yaitu bahasa yang dipakai dalam kerajaan, juga tidak ada pembenarannya.
Kemudian ada pendapat mengatakan, mungkin nama itu diambil dari nama suatu daerah di India yang juga bernama "Goa", tapi pendapat serupa itu juga tidak kuat dasarnya, karena hubungan apalagi pengaruh India sepanjang sejarah tidak pernah ada di Gowa khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya. Ringkasnya di Sulawesi Selatan tidak pernah ada pengaruh Hindu dan Buddha. Kepercayaan penduduk mulanya adalah "animisme". Kemudian datang ajaran Islam, maka ajaran Islam yang tumbuh di atas reruntuhan paham animisme itu meninggalkan upacara upacara lama yang sudah diadatkan sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan. Jadi Islam di Sulawesi Selatan, terutama di Gowa tidak pernah bertemu dengan sisa-sisa peninggalan Hindu dan Budha.
Raja Gowa ke - 36 ialah raja yang terakhir Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang, Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidit pernah menerangkan bahwa nama "Gowa" itu berasal dari perkataan "GUA", karena di tempat "Tumanurunga" ditemukan tadinya di Tamalate terdapat sebuah GUA yang besar. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa perkataan Gowa ini berasal dari GOWARI yang artinya bilik atau kamar. Entah mana yang benar sampai sekarang belum ada kepastian.
Federasi raja-raja kecil di bawah pimpinan Paccalaya tadi, lama kelamaan kacau karena timbul perselisihan di antara mereka. Tapi kemudian dicapai kata sepakat untuk bersama-sama mencari seorang Raja yang berwibawa. Tidak lama kemudian datang laporan, bahwa di suatu tempat bernama Taka’bassia dalam daerah Gowa ada seorang raja putri yang turun dari kayangan. Maka Paccalaya bersama kesembilan raja-raja kecil itu menemui raja putri yang sangat cantik jelita.
Raja putri itu turun dari kayangan lengkap dengan dokohnya yang indah buatannya, piring dan sebuah istana 5 petak dekat pohon mangga. Maka berkatalah Paccalaya kepada ratu itu "Kami semua datang untuk menjadikan engkau Raja kami.” Maka mulai hari itu pun raja putri tadi diangkatlah menjadi Ratu di Gowa yang pertama dengan gelar "Tumanurunga" artinya orang yang turun dari kayangan.
Cerita Tumanurung bagi cikal bakal raja-raja di Sulawesi Selatan bukan hanya terjadi di Gowa. Tapi juga di Bone, Soppeng dan lain sebagainya.
Tumanurung ini kawin dengan seorang laki-laki dari dua bersaudara yang datang dari Bantaeng. Yang seorang bernama Karaeng Bayo, dialah yang memperisterikan Tumanurunga dan seorang lagi bernama Lakipadada.
Tumanurunga tadi datang kira-kira tahun 1300. Dari saat itu sampai tahun 1400, jadi satu abad lamanya Kerajaan Gowa diperintah oleh 6 orang raja turun-temurun, yaitu :
- Tumanurung - kira-kira tahun 1300
- Tumassalangga barayang
- I Puang Loe ri Lembang
- I Tuniyatabanri
- Karampang ri Gowa
- Tunatangka' lopi.
Bagaimana pemerintahan mereka selama satu abad, sangat kurang ditemukan data-datanya dalam "lontara".
Perkataan "lontara” berasal dari daun lontar yang dipakai sebagai kertas dahulu kala menulis dengan pinsil paku kecil. Hingga sekarang buku-buku yang bertuliskan aksara Makassar disebut "lontara". Malah aksara Makasse: sendiri disebut "aksara atau huruf lontara".
Daun lontar ini diambil dari pohon lontar yang banyak ditanam di daerah Gowa dan di daerah-daerah takluknya dahulu. Sehingga orang, jika hendak mengetahui sampai dimana kekuasaan Kerajaan Gowa dahulu perhatikanlah di tempat yang tumbuh pohon lontar, pasti daerah itu bekas daerah takluk Kerajaan Gowa di abad ke XVI - ke XVII.
Tanaman pohon lontar banyak terdapat di pulau-pulau Nusa Tenggara mulai dari Lombok sampai ke pulau Timor. Malah seorang raja Tallo yang wafat setelah kembali dari pulau Timor memerangi dan menaklukkan negeri itu digelar "Tuammalianga ri Timoro" artinya Yang Wafat di Timor. Historis sebenarnya sebelum Portugis menjajah Timor Timur, daerah itu pernah menjadi daerah kekuasaan Gowa Imperium.
Pada tahun 1400 ketika Gowa diperintah oleh Batara Gowa Tumenanga di Parallakenna sebagai raja Gowa ke VII, terjadi suatu perkembangan besar. Batara Gowa dua bersaudara. Adiknya bernama Karaeng Loe ri Sero. Ketika ayahnya masih hidup yaitu raja Gowa ke VI Tunatangka' lopi daerah kerajaan Gowa dibagi dua karena khawatir timbul perselisihan di antara kedua anaknya laki-laki itu. Pembagian diatur sebagai berikut.
Batara Gowa menguasai :
- Gallarang Paccelekang
- Gallarang Pattallasang
- Gallarang Bontomanai'
- Gallarang Tombolo'
- Gallarang Mangasa :
Karaeng Loe ri Sero menguasai :
- Gallarang Saumata
- Gallarang Pannampu
- Gallarang Moncongloe
- Gallarang Parangloe.
Di luar daerah Gallarang tadi, ada dua kerajaan-kerajaan kecil yaitu negerinya Karaeng Loe ri Bentang dan Karaeng Loe ri Bira menggabungkan diri dengan Karaeng Loe ri Sero. Mereka menyuruh rakyatnya masuk ke hutan yang bernama hutan "Talloang" dekat sungai Bira mengambil kayu untuk ramuan sebuah Istana bagi Karaeng LoE ri Sero. Tempat itulah kemudian bernama "Tallo” dan kerajaannya bernama Kerajaan Tallo. Kerajaan Tallo yang terpisah dari Kerajaan Gowa, di masa pemerintahan raja Tallo I Mangayoangberang Karaeng Pasi alias Karaeng Tunipasuru mengadakan peperangan dengan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Tumapa'risi Kallongna. Setelah peperangan itu berakhir dengan kemenangan kerajaan Gowa, maka diadakanlah perjanjian antara Gowa dan Tallo yang isinya menyatakan, bahwa barangsiapa yang hendak mencoba mengadu domba Gowa dengan Tallo, akan dikutuk oleh Dewata.
Berdasarkan perjanjian damai itulah maka hubungan antara kedua kerajaan Makassar ini tambah erat, sehingga peribahasa Makassar mengatakan "Ruwa karaeng se're ata" artinya "Dua raja tapi hanya satu rakyat".
Berdasarkan perjanjian itu pula, maka jabatan Mangkubumi Tumabbicara butta di Kerajaan Gowa selalu dijabat oleh Raja Tallo atau turunannya.
Batas kerajaan Tallo ke utara adalah kerajaan Marusu', ke barat selat Makassar, ke selatan sampai di Ujungtanah dan Bontoala, ke timur berbatas dengan Gowa.
Di abad ke XVI dan XVII pada zaman pemerintahan :
- Raja Gowa ke XIV I Manga'rangi Daeng Manra'bia Sultan Alauddin, Tumenanga ri Gaukannya (1593 - 1639 ),
- Raja Gowa ke XV I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung, Sultan Malikussaid, Tumenanga di Papangbatuna ( 1639 1653 ) dan
- Raja Gowa ke XVI I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Balla pangkana. (pahlawan Nasional, 1653-1670 ), adalah puncak kejayaan Kerajaan Gowa dan Tallo.
Sesudah abad itu sampai tahun 1905, karena selalu dalam ketegangan dan sifat permusuhan lawan penjajah Belanda, maka kejayaan itu hari kian merosot, digantikan oleh Kerajaan Bone yang hendak menggantikan kedudukan Gowa sebagai pemersatu seluruh Sulawesi Selatan berdasarkan cita-cita La Tenritatta Aru Palakka, yang kemudian menjadi Raja Bone ke XV (1672-1696).
Rencana itu jelas nampak ketika Raja Bone La Tenritatta Aru Palakka yang tidak mempunyai anak , mengawinkan kemenakannya (anak saudaranya yang perempuan) yang bernama La Patau Matanna Tikka yang kemudian menggantikannya sebagai Raja Bone ke XVI (1696 - 1714) dikawinkan dengan putri Raja Luwu, putri Raja Soppeng dan putri Raja Gowa. Dari perkawinan itu masing-masing memperoleh anak dan anak-anak itu akhirnya menjadi pengikat tali persaudaraan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Kejayaan Gowa yang kini diambil alih oleh Bone, akhirnya juga pada tahun 1905 runtuh, karena Belanda memerangi Bone. Belanda di tahun 1905 melihat bahwa gerak-gerik Bone tidak ada bedanya dengan Gowa dan lain-lain kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak pernah berhenti memusuhi Belanda. Sebab itu pada bulan Juli 1905 armada perang Belanda dikerahkan untuk menyerang Bone, yang waktu itu di bawah pemerintahan Raja Bone ke XXXI (1895 - 1905). Sesudah perang berakhir dengan kekalahan Bone, maka Raja Bone ke XXXI La Pawawoi Karaeng Segeri diasingkan ke Bandung. Raja ini meninggal dunia dalam pengasingan pada tanggal 17 Januari 1911 dan kini dipindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya melawan penjajah Belanda.
Sesudah Bone dikalahkan, maka Belanda beralih ke Gowa yang sama sekali tidak dipercaya akan kesetiaannya terhadap Perjanjian Bungaya yang berulang-ulang kali dibaharui.
Bermacam-macam alasan dituduhkan oleh Belanda kepada Raja Gowa seperti :
- Insiden bulan Februari 1905 yang terjadi di Jampue (Sawitto) dicampuri oleh Raja Gowa, karena membela sepupunya di sana.
- Banyak provokasi yang sebenarnya dibuat-buat oleh Belanda bahwa Gowa akan menyerang Belanda.
- Juga ada provokasi yang mengatakan, bahwa Raja Gowa menghasut rakyat Bantaeng bangkit mengobarkan perang lawan Belanda
- Menyembunyikan Arung Labuaja La Page yang turut berperang sebagai Panglima Kerajaan Bone melawan Belanda.
Dan banyak tuduhan lainnya yang sengaja dibuat-buat oleh Belanda sebagai alasan untuk mengangkat senjata.
Pada tanggal 7 Oktober 1905 pasukan Belanda didatangkan dari Pompanua (Bone). Tanggal 14 Oktober 1905 pasukan Belanda diberangkatkan dari Ujungpandang ke Galesong. Belanda mengundang Raja Gowa I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husein, Tumenanga ri Bundu'na (1895-1905) untuk datang ke Ujungpandang membicarakan beberapa persoalan yang gawat di Gowa dengan ancaman bila sampai tanggal 18 Oktober 1905 Raja Gowa tetap menolak tidak akan datang, maka Belanda akan mengangkat senjata. Ancaman itu tidak diperdulikan oleh Raja Gowa dan permintaan Belanda ditolak.
Pada tanggal 19 Oktober 1905 benar serdadu-serdadu Belanda dikerahkan ke Jongaya tempat Istana Raja Gowa. Gubernur Belanda menyampaikan sekali lagi permintaan untuk berunding, akan tetapi Raja Gowa tetap menolak. Maka peperangan yang dahsyat pun terjadi.
Raja dan pengawalnya mundur dari Jongaya menuju ke Limbung dan akhirnya Raja beserta pasukan pengawal menuju ke Barru. Dari Barru Raja Gowa menuju ke Sawitto, di sana bergabung dengan pasukan La Sinrang, putra Datu Sawitto yang juga melawan Belanda,
Karena kekalahan persenjataan, pada suatu hari tanggal 24 Desember 1906 malam, pasukan Belanda berhasil mengepung Raja Gowa di suatu tempat di Sidenreng bernama Waru E. Dalam pertempuran itu Raja Gowa jatuh ke jurang yang dalam dan di sanalah Raja menemui ajalnya sebagai Pahlawan melawan penjajah Belanda. Jenazahnya diangkut ke Gowa dan dimakamkan di Mesjid Raja Jongaya. Raja ini digelar 'Tumenanga ri Bundu'na' artinya Raja yang gugur dalam peperangan.
Barulah sesudah perang tahun 1905 seluruh Sulawesi Selatan dapat dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dengan penuh tipu muslihat.
Khusus mengenai Gowa, Belanda mengadakan reorganisasi pemerintahan agar Gubernemen dapat langsung memerintah. Mula-mula tahun 1910 Belanda usulkan Gowa Barat dijadikan sebuah distrik dipimpin oleh seorang bergelar "Regent”. Distrik itu meliputi 9 buah distrik bawahan yaitu Karuwisi, Mangasa, Tombolo', Boronloe, Saumata, Pattalassang, Borisallo, Manuju dan Parigi. Adapun yang dicalonkan sebagai Regent ialah I Mappanyukki Datu Suppa putra mahkota Kerajaan Gowa. Akan tetapi tawaran itu ditolak.
Tahun 1914 terdapat suatu gerakan yang menggemparkan ialah "Gerakan Tolo" dipimpin oleh I Tolo Daeng Magassing berasal dari Limbung. Ia bersama beberapa orang terkemuka di antaranya Rajamang, Basareng, I Macang Karaeng Bilaji dan lain-lain. Gerakan ini menyerang tangsi-tangsi Belanda baik di Gowa sampai ke Turatea.
Tahun 1925 pemerintah Belanda merobah kebijaksanaan pemerintahannya. Kepada raja-raja diberi kembali kekuasaan-kekuasaan terbatas yang lebih longgar dari semula. Di Gowa sendiri dibentuk Federasi Gowa dipimpin oleh seorang bangsawan Gowa I Tjoneng Daeng Mattayang Karaeng Manjalling merangkap kepala distrik Karuwisi. Tetapi federasi ini tidak tahan lama. Di kalangan pemerintah Belanda timbul pemikiran, bahwa untuk mencapai ketenangan pemerintahan, maka di Gowa perlu diangkat kembali seorang yang berkedudukan sebagai Raja Gowa. Akhirnya pada tanggal 31 Desember 1936 suatu perjanjian pendek "Korte Verklaring” disahkan oleh pemerintah Belanda, yang isinya sebagai berikut :
- Bahwa Gowa menjadi bahagian dari Hindia Belanda dan raja Gowa harus setia kepada raja Belanda dan wakilnya yaitu Gubernur Jenderal.
- Bahwa raja Gowa tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan asing lainnya. Musuh Belanda adalah musuh Gowa. Sahabat Belanda adalah juga sahabat Gowa.
- Bahwa raja Gowa harus mentaati segala peraturan yang ada dan yang akan dibuat atas nama pemerintah Hindia Belanda.
Yang diangkat menjadi raja Gowa ke XXXV I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Nuhibuddin, saudara dari raja Gowa I Makkulau Karaeng Lembangparang yang di tahun 1905 berperang melawan Belanda.
Raja Gowa yang baru itu didampingi oleh I Pabisei Daeng Paguling Karaeng Katapang sebagai "Tumailalang Towa" dan I Tjoneng Daeng Mattayang Karaeng Manjalling sebagai "Tumailalang Lolo".
Lima tahun sebelumnya yaitu di tahun 1931 dalam bulan April Andi Mappanyukki diangkat menjadi raja Bone ke XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim putra Sultan Husein yang gugur dalam perang.
Pada zaman pendudukan Jepang ketika kedua Tumailalang itu meninggal dunia, maka yang diangkat menjadi Tumailang Towa ialah Andi Baso Daeng Rani Karaeng Bontolangkasa (saudara dari kedua almarhum) dan sebagai Tumailalang Lolo ialah Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. putra raja Gowa I Mangimangi Karaeng Bontonompo alm.
Dalam tahun 1946 di zaman NIT (Negara Indonesia Timur) raja Gowa I Mangimangi Karaeng Bontonompo wafat. Sejak waktu itu disebut "Tumenanga ri Sungguminasa". Beliau digantikan oleh putranya Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdulkadir Aididdin. Beliau baru dilantik pada tanggal 25 April 1947, walaupun pengangkatannya sudah disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 5 September 1946.
Untuk membantu raja Gowa yang baru ini diangkat 5 orang pejabat tinggi yaitu :
- Andi Baso Daeng Rani Karaeng Bontolangkasa (tadinya Tumailalang Towa) diangkat sebagai Pabbicara Butta.
- Andi Manrurungi Daeng Muang Karaeng Sumanna sebagai Tumailalang Towa,
- Andi Mappasiling Daeng Ngeppe Karaeng Sapanang sebagai Tumailalang Lolo,
- Andi Laoddangriu Karaeng Bontonompo sebagai Tukajannangan,
- Hamzah Daeng Tompo Gallarang BorongloE sebagai Paccalaya. 82
Pada zaman Negara Indonesia Timur (NIT) dalam kurun waktu 1946-1950, Raja Gowa Andi Idjo Karaeng Lalolang diangkat menjadi Wakil Ketua Hadat Tinggi yaitu majelis pemerintahan Gabungan Selebes Selatan. Yang menjadi Ketua Hadat Tinggi adalah Raja Bone Andi Pabbenteng Daeng Palawa.
Hadat Tinggi ini mengalami goncangan yang hebat setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) terbentuk, sebagai hasil KMB (Konperen Meja Bundar, Desember 1949). Gelombang demonstrasi melanda kota Makassar, rakyat minta supaya NIT dibubarkan dan seluruh Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia Kesatuan yang berpusat di Yogyakarta. Kegoncangan politik ini melanda pula Hadat Tinggi. Wakil Ketuanya Raja Andi Idjo mengambil alih pimpinan sebagai Pejabat Ketua pada tanggal 25 April 1950 daerah Sulawesi Selatan dinyatakan keluar dari ikatan ketatanegaraan NIT dan menggabung langsung ke dalam Repbulik Indonesia kesatuan pusat Yogyakarta.
Gelombang demonstrasi-demonstrasi ini dipelopori oleh pemuka-pemuka politik dan para pejuang revolusi yang baru bebas dari tawanan Belanda dan pada tanggal 5 Februari 1950 berhasil mengadakan Kongres di Polombangkeng yang melahirkan Biro Pejuang Pengikut Republik Indonesia disingkat Biro PPRI diketuai oleh Yusuf Bauti.
Di seluruh daerah di Sulawesi Selatan dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI), di mana pemerintahan Raja-Raja diganti dengan pemerintahan sipil sesuai Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah No. 22/1948.
Pemerintahan Hadat Tinggi di Sulawesi Selatan dirobah, DPRDnya dengan menambah anggota dari unsur pejuang. Dalam salah satu sidang DPRD Sulawesi Selatan dan Tenggara di bawah pimpinan Ketua Andi Burhanuddin, seorang Republikein diterima suatu mosi yang diberi nama "Mosi Massiara". yang menghendaki dilaksanakannya secara de facto dan de yure Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah RI No. 22/1948, yaitu di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara yang tadinya terdiri atas 7 daerah yang disebut "Afdeeling", dirobah namanya menjadi Daerah Kabupaten. Daerah dimaksud adalah :
- Kabupaten Makassar,
- Kabupaten Bantaeng,
- Kabupaten Bone,
- Kabupaten Pare-Pare,
- Kabupaten Mandar,
- Kabupaten Luwu,
- Kabupaten Buton dan Laiwui,
Realisasi dari mosi yang diterima ini barulah dilaksanakan pada tahun 1952 dimana Pemerintah Gabungan Selebes Selatan dibubarkan dengan Peraturan Pemerintah Pusat, kemudian diciptakan 7 buah daerah Kabupaten yang otonom di atas bekas "Afdeeling" berdasarkan UndangUndang NIT 1950 no. 44 tapi yang setingkat kabupaten swatantra tingkat II menurut Undang-Undang 1948 No. 22 dari Republik Indonesia Yogyakarta.
Baru pada tanggal 6 Februari 1957 Raja Gowa Andi Idjo Karaeng Lalolang diangkat menjadi Kepala Daerah Gowa oleh Menteri Dalam Negeri di Jakarta, sehingga sejak waktu itu beliau menjadi pegawai negeri dan Swapraja Gowa memasuki pembubarannya secara de facto dan de jure.
Demikianlah akhir kerajaan Gowa yang sejak abad ke XIV sampai abad ke XVII merupakan Kemaharajaan yang menguasai dua pertiga wilayah Nusantara dan pada tahun 1905 masih melakukan perang melawan penjajah Belanda. Hal yang serupa juga berlaku atas semua kerajaan-kerajaan yang tadinya menjadi daerah kekuasaan atau daerah sahabat dengan kerajaan Gowa yang banyak tersebar di seluruh Nusantara.
Di bumi bekas kerajaan Gowa yang besar itulah kini berbaring dengan tenangnya seorang putranya yang taat kepada agamanya Islam, seorang ulama tapi dia juga seorang pejuang kemerdekaan mengangkat senjata membantu mertuanya Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Namanya Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa.
Sumber : Salah satu dari buku tiga serangkai karya H. A. Massiara berjudul Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa.