Benteng Somba Opu didirikan pada awal abad ke-16 tepatnya pada tahun 1525 atas usaha Raja Gowa ke-9 Karaeng Tumaparisi’ Kallonna yang kemudian dilanjutkan oleh Karaeng Tunipalangga Ulaweng. |
Bangsa asing Eropa yang pertama datang ke Sulawesi Selatan ialah bangsa Portugis. Sejak Malaka takluk tahun 1511, orang Portugis berusaha menguasai kepulauan Maluku yang menghasilkan banyak rempah-rempah. Orang Portugis banyak menghadapi tantangan dari raja-raja di Maluku, demikian pula dari bangsa Spanyol yang lebih dahulu berada di daerah itu. Karena itu orang Portugis berusaha menaklukan Ternate, kemudian dijadikannya basis kekuasaan di daerah Maluku dan mengangkat seorang Gubernur.
Dari Ternate inilah orang Portugis mendapat keterangan bahwa di pulau Sulawesi terdapat kekayaan yang berlimpah-limpah, baik hasil tambangnya, hasil sawah dan kebunnya, maupun hasil lautnya. Oleh sebab itu orang Portugis berlayarlah ke pulau Sulawesi sekitar tahun 1521. Tapi tidak ada hasil yang ia peroleh. Penduduk pantai di bagian selatan Sulawesi bersikap bermusuhan, karena ternyata orang Portugis yang datang itu juga bermaksud mengembangkan agama Katolik, yang ditolak oleh raja-raja di daerah itu.
Barulah pada tahun 1538 orang Portugis dapat berlabuh di bandar Sombaopu menghadap Raja Gowa ke IX Tumapa'risi' Kallongna.
Orang Portugis berusaha mempengaruhi Raja-raja di Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Katolik, akan tetapi tidak berhasil. Apalagi setelah sampai ke tahun 1605 agama Islam sudah mulai masuk ke Istana Raja Gowa dan Tallo dan dari sana menyebar luas ke pedalaman.
Di sekitar tahun 1600 di masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin, Kerajaan Gowa sudah banyak berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa dan Asia. Ibukota Sombaopu yang terletak di selatan kota Ujungpandang sekarang adalah merupakan bandar perdagangan yang potensial sekali di bagian Tengah dan Timur Indonesia.
Semua pelayaran dari Eropa, Asia ke Maluku dan sebaliknya transit di bandar Sombaopu lebih dahulu.
Di tahun 1601 barulah orang Belanda yang sebelumnya berusaha menguasai pulau Banda menaruh perhatian atas bandar besar Sombaopu. Dalam tahun 1607 laksamana Belanda "Cornelis Matelief" yang tadinya menaklukkan Malaka dan merebutnya dari tangan Portugis mengirim seorang saudagar Belanda ke Sombaopu dengan tugas supaya Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XIV bersedia bekerjasama dengan Belanda menaklukan Banda kemudian nanti Belanda mendapat monopoli perdagangan rempah-rempah di Banda, tapi maksud itu ditolak mentah-mentah oleh Raja Gowa.
Belanda menjadi mata gelap, diusahakanlah pengusiran orang Portugis dari Sombaopu, malah menghalang-halangi armada dagang Portugis dan Gowa beroperasi di pulau Banda.
Karena tingkah laku Belanda yang buruk itulah, maka Raja Gowa menyatakan bahwa "negaranya (maksudnya : Kerajaan Gowa dan daerah taklukannya yang meliputi dua pertiga Nusantara dari Timur) adalah menjalankan kebijaksanaan politik terbuka dan bebas untuk semua bangsa-bangsa". Jelasnya bahwa Bandar Sombaopu adalah Pelabuhan Bebas dan Pelabuhan Internasional.
Banyak orang Indonesia, termasuk orang Sulawesi Selatan, bahkan mungkin orang Makassar sendiri tidak tahu di mana letak bandar Sombaopu yang pernah menjadi Ibu Kota Kerajaan Gowa yang besar itu. Ibu Kota Kerajaan Gowa bukan di kota Ujungpandang sekarang, bukan di kota Makassar dahulu. Penduduk kota Makassar atau Ujungpandang kini hanya mengenal sebuah kampung di pinggir pantai dekat kampung Maluku tempat perbelanjaan yang ditembus jalan memakai nama "Sombaopu" ke utara menusuk Kampung Baru.
Posisi benteng tepat terletak di antara dua sungai yaitu sungai Balang baru dan sungai Jene’berang |
Di abad ke XVI di masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Tumapa'risi Kallongna beberapa buah benteng telah dibangun. Diantaranya benteng Tallo, benteng Ujungtanah, benteng Ujungpandang, benteng Barombong dan benteng Sombaopu. Raja-raja Gowa sesudah Tumapa'risi Kallongna menambah jumlah benteng-benteng seperti benteng Garasi, benteng Pannakkukang, benteng Galesong, semuanya dibangun untuk mempertahankan wilayah kerajaan dari kemungkinan serangan musuh, baik dari darat maupun dari laut.
Di antara benteng-benteng itu, benteng Sombaopulah yang paling utama karena benteng ini terletak di bandar yang ramai dan sekaligus sebagai Ibukota Kerajaan Gowa.
Letak benteng Sombaopu menurut penulis-penulis Belanda terletak di tepi pantai selat Makassar, ke utara sampai ke Tanjung Alang dengan muara Sungai Je'neberang, pada garis 5°4' lintang selatan,
Penduduk Gowa sekarang sudah kurang yang tahu, bahwa pusat benteng kebanggaan Kerajaan Gowa ini terletak di desa Sapiria, kini termasuk desa Sarombe di Barombong, kecamatan Pallangga, kabupaten Gowa. Benteng ini diapit oleh dua buah sungai yaitu sungai Je'ne'berang di utara dan sungai Ujung Pacu di selatan. Kedua sungai itu merupakan penyanggah alam berbentuk "parit besar” yang melindungi benteng Sombaopu. Benteng itu sendiri menghadap ke barat ke Selat Makassar, Benteng agung ini mempunyai benteng pengawal di sebelah selatan dilindungi oleh benteng Garasi, benteng Pannakkukang, benteng Barombong dan benteng Galesong. Di sebelah utara dilindungi oleh benteng Ujungpandang dan benteng Ujungtanah.
Benteng Sombaopu memakai dinding tembok sekeliling yang 12 kaki tebalnya atau 3,6 meter, sehingga tembok yang tingginya sekitar 7-8 meter dapat dipakai oleh para prajurit mengadakan pengintaian. Di dalam benteng di balik tembok besar keliling itu ditempatkan meriam, bedil dan senjata lainnya yang banyak. Di dalam benteng itulah berdiri Istana Raja Gowa, rumah keluarga, pembesar dan anak bangsawan Kerajaan Gowa. Istana dan rumah-rumah itu dibuat dari kayu besar tiangnya dengan dinding papan dan atap sirap atau nipah, berbentuk rumah panggung khas rumah tipe Makassar sampai sekarang.
Di sekeliling Istana dan rumah-rumah keluarga itu dibangun pula tembok-tembok yang tebal dari batu bata dan batu karang, semuanya dipersenjatai meriam dan bedil.
Di luar tembok berkeliling itulah tempatnya para prajurit Gowa beserta keluarganya, para tukang dan pandai-pandai, para pedagang atau saudagar, para perantau dan pedagang bangsa asing. Sombaopu yang menjadi Ibu Kota Kerajaan Gowa didiami bukan hanya rakyat Gowa, akan tetapi semua suku bangsa yang takluk di bawah kekuasaan Gowa banyak yang datang bermukim di sana seperti orang Bugis, orang Mandar, orang Toraja, orang Selayar, orang Buton dan lain-lain. Bahkan Sombaopu didiami pula oleh orang-orang Melayu pedagang dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor. Orang asing Eropa juga banyak di Sombaopu seperti bangsa Portugis, bangsa Inggeris, bangsa Denmark, bangsa Belanda.
Sombaopu dengan demikian menjadi Ibu Kota Kerajaan Gowa, sekaligus merupakan sebuah Bandar yang besar dan ramai dan pelabuhan internasional di dua pertiga wilayah Indonesia sekarang ke arah timur.
Bila musim Barat tiba, dari bulan Desember, Januari dan Maret pelabuhan Sombaopu disinggahi kapal-kapal dari Eropa dan Asia menuju ke timur ke Maluku untuk membeli rempah-rempah di daerah Maluku. Mereka membawa barang-barang dagangan yang akan dibarter dengan pala dan cengkeh di kepulauan Maluku. Bulan Juni, Juli, Agustus sampai September kapal-kapal itu balik dari Maluku singgah di Sombaopu untuk meneruskan pelayarannya ke Asia atau Eropa.
Begitulah gambaran situasi Sombaopu sebagai Ibukota Kerajaan Gowa di zaman Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XV Sultan Malikussaid dan Raja Gowa ke XVI Sultan Hasanuddin.
Syekh Yusuf yang lahir di tahun 1626 dibesarkan oleh situasi Kerajaan Gowa yang besar kekuasaannya, memegang supermasi dari Sombaopu ke Kutai di Kalimantan Timur, ke Sumbawa, Bima, Dompu, Timor di Nusa Tenggara, ke Marege Utara (Australia), ke Dobu di sebelah timur dan ke Sulu dan pulau-pulau selatan Pilipina.
Benteng Sombaopu merupakan benteng yang berlapis-lapis pertahanannya. Bentuknya persegi empat panjang, dengan sebuah sisinya sepanjang 3 kilometer, tinggi tembok 7 - 8 meter, tebalnya 3,6 meter, sedang didinding yang menghadap Selat Makassar terdapat 4 buah selokoh yaitu tembok yang berbentuk bundar. Disitulah meriam-meriam dipasang. Sedangkan di barat laut yang berhadapan dengan Tajung Alang terdapat sebuah selokoh yang paling besar. Di situlah ditempatkan meriam yang digelar "Anak Makassar" yang sangat besar dan dapat orang masuk berjalan di moncongnya.
Tembok di sisi sebelah timur dan selatan tidak diperkuat dan tidak diberi selokoh, karena menurut perhitungan strategi perang, musuh kebanyakan datang dari barat (laut) atau dari utara. Musuh tidak pernah diperhitungkan datang dari selatan apalagi dari timur.
Sejak benteng Sombaopu berdiri, berkali-kali meriam-meriam musuh terutama Kompeni Belanda (VOC) melakukan serangan, akan tetapi benteng itu tidak dapat dirobohkan.
Tanggal 15 Juni 1639 Raja Gowa ke IV Sultan Alauddin meninggal dunia dan diberi gelar Tumenanga ri Gaukanna (artinya : yang mangkat dalam kebesaran kekuasaannya). Ia digantikan oleh putranya I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung alias Karaeng Lakiung sebagai Raja Gowa ke XV. dengan gelar Sultan Muhammad Said atau Sultan Malikusaid.
Tiga tahun sebelumnya tanggal 1 Oktober 1636 ketika Syekh Yusuf baru berusia 10 tahun, maka Mangkubumi Kerajaan Gowa, Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Mannyonri wafat dan diberi gelar Tumenanga ri Agamana. Ia digantikan sebagai Mangkubumi oleh putranya I Mangadacini Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang, seorang yang luas pengetahuannya, seorang sarjana besar dan menguasai sejumlah bahasa-bahasa asing Eropa dan Arab.
Pada saat Raja Gowa Sultan Malikussaid dan Mangkubumi Karaeng Pattingalloang inilah Syekh Yusuf dinikahkan dengan putrinya Raja Gowa ke XIV I Sitti Daeng Nisanga. Jadi isterinya adalah saudara dari Raja Gowa ke XV ini.
Setelah menikah, maka pada tanggal 22 September 1644 diadakanlah pesta perpisahan oleh Syekh Yusuf yang sudah bersiap akan berangkat ke Tanah Suci. Syekh Yusuf turut menumpang perahu layar yang ditumpangi oleh Karaeng Parangi dari Galesong yang akan berangkat ke Bantam (Banten).
Enam tahun lamanya Syekh Yusuf di Tanah Suci berguru memperdalam ilmu agama Islam, maka dalam tahun 1650 ia balik ke tanah airnya. Akan tetapi tidak langsung ke Gowa. Syekh Yusuf mampir di Bantam dan diminta oleh Raja Bantam Sultan Ageng Tirtayasa untuk sementara menetap di sana mengajarkan agama Islam di Kerajaan yang terletak di pantai utara Jawa Barat, berbatasan dengan Jakarta yang diduduki oleh Kompeni Belanda.
Syekh Yusuf mendapat simpati dari Sultan Bantam dan rakyatnya karena ilmu "tassawuf” yang diajarkannya. Malah pada suatu hari Syekh Yusuf dinikahkan dengan putri Sultan Banten yang bernama Syarifah. Dari isterinya ini Syekh Yusuf memperoleh seorang putra dan seorang putri. Ketika isterinya meninggal dunia, Syekh Yusuf nikah lagi dengan adik isterinya, jadi iparnya. Dengan isteri yang kedua ini pun Syekh Yusuf memperoleh dua orang anak, seorang putra dan seorang putri.
Oleh karena pada waktu itu Belanda selalu mengganggu Kerajaan Banten, maka Syekh Yusuf dalam ajaran agamanya menanamkan semangat perlawanan "fi sabilillah" dan "perang terhadap kafir dihalalkan oleh agama", maka sebahagian besar putra-putra Bantam bangkit berdiri di belakang pendirian Rajanya dan ikut mengangkat senjata bila Kompeni Belanda menyerang.
Sumber : Salah satu dari buku tiga serangkai karya H. A. Massiara berjudul Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa.
Post a Comment
Bagi yang punya akun di google dapat memberikan komentarnya di sini...
Note: Only a member of this blog may post a comment.