Halloween Costume ideas 2015
March 2022

Kisah ini bercerita tentang pertemuan Dampang Ko’mara bersama dengan Orang Tua yang tak dikenal, tiba-tiba Orang Tua itu muncul di tengah-tengah kebun Dampang Ko’mara.

Orang Tua itu kemudian tinggal Bersama Dampang Ko’mara, dan selang beberapa lama kemudian Orang Tua itu pun tinggal di rumah Gallarrang Moncongloe. Karena ketekunan orang tua itu bekerja di rumah Gallarrang, maka saat orang tua itu hatinya tertambat pada putri Gallarrang, Gallarrang pun merestui maksud baik Orang Tua itu, hingga dinikahkan putri Gallarrang dengan Orang Tua itu.

Silahkan disimak kisahnya dalam tulisan Lontara!

Dampang Ko’mara, Gallarrang Moncongloe Siagang Tu Toa 

dp komr, glr moColoea siag tu toa


n kimGurGi br kmai ap n nisiGria atin pGulut esyusupu tju hlwtiy. mkeser tau ni krnua n nikmesa ri krean sikm alG n nipnsmo aen km riwyn tuat segn pmliaGn me Gri al tal.

ninRo llo ao ai kau sikm asuro bcyai riwyn tuat tau niktutuai ri al tal aimn siag ri suron. mtp lloki br aetkm n nisiGriaKi atit, aimt, nugp todo brk ll klbirn tuat esyusupu.

eta lloki pniaki ri atit tPtpki ri bicrn riwyn tuat slmk ni kny suae yusupu tju hlwtiy kd slhu siruhu tau slmk ri lino ri aehr.

n aiy ri bokoaGn aiymien aPnsai auru kniakn amub ri prsGG ri komr sierwsnk kraeG rigow tu eGnG ri lkiau tu mGesG ri gow. sierwsGi ai dto ri pegtuG siag ai lomo ri at.

n aiy auru kniakn nia eser awtu dp komr nempo ri bl bl kokon ri tG bGia n nia siGr ncini ri tGn kokon n meGmo nciniki. btuai meG niamo tau toa aemet ri delkn asiGri nklibGamo dp komr aCiniki ajo tau toay. slo sloai prmi ncini ajo siGrk n ajo tau toay ans tomi rupn nicini rid p komr.

nknmo tau toay ao dp komr kmesa lloa earok amt ri kau poro niaku nu aga ajm jm ri kokoa. nknmo dp komr ao tau toa akutnG ri ket tu btu ekerki mea prsGt ap todo lRin nu btu mea aRini ri eapoaKu?

nknmo tau toay mn ainek tkuaes toGi kbtuaku ka nia mmo ku nia mmo aRini ri kau. apji n nknmo dp komr amtmki pel aRini k earok me Gri bl n kijgai riaolo lmulmuG. nmtmo tau toay ajgai kokoa.

asulumi dp komr ri bln n ribokoaGn niamo eser alo nnkn dp komr ri tau toay aub nauki ri moColoea ant nip. nknmo tau toay bjimi n mlpmo nau.

btuai nau meGmi ri bln glr moColoea. slo sloai meGmi ant nip. elbki siloloGmi nipn nearmi nai ri komr.

pirGlo aerai btu rwn nknmo tau toay ri dp komr aiymien kupwki earo dudu toG nau amt ri deaKuu glr moColoea. nknmo dp komr bjimi pun earoki nau ri spo sikliku. elbki naumi tau toay.

btuai nau nknmo glr moColoea rnu dudua atu lri earonu amt ri nek. apji nmtmo ri glr moColoea apktunai keln ri psuroan pu npmtGia. mGel toGi ejen, aGel toGi kyu aedk toGi aes, tean ptujua aia Ges poel ri kpoG ri prsGG nptujua Ges. nmmujimo Gesmo tw aKn aGpai n nia tau toa km ajo.

naiy gnnmo sibul ruabul aplknmi ri glr moColoea aKn earom apl kn ri ket amoeter ri daeKu dp komr. amoetermi nai ri komr.

btuai nai nknmo dp komr niamki? nknmo tau toay aiyo niam.

elb km ajo nrpiki bGi nknmo tau toay nia earo kupau ri ket. nknmo dp komr ap earo nupau?

nknmo tau toay nia ailtksibGn Nwku ri ann deaKu glr moColoea mk earoji kutea ri tau km ai nek? nknmo dp komr aetaerkm nRomi km nipsicniikpi sl.

elbki naumi dp komr. btuai nau nknmo glr moColoea ap nubtuai nu nia nau mea? nknmo dp komr aiymien kubtuai nau ri kau adi, ajo tau toa elbk amt ri kau nia knn ri nek, nia ailtksibGn ri juluan earojko ajo?

nknmo glr moColoea bjimi ai emmtomi tau kmy kuminsai tau kmesmes kmy, al siap siapmi jain aGojo tukku n tean npmiaai nw nwKu psGlin aiap atu tau toaya. etami aKn ai nekji npsau bkuKu k mn poel bij pmnkt ri prsGG npGela Ges ejen, npGela kyu, nia todo poel gaun kucini mrmrae, kmai kucini tu tl eta beKn ri buty pun mjp. apji aen ai nek ri pmaiku lri earon al tal siag brkn nbiy sllhu alaihi wslm.

npw Gesmi bijn pmnkn. rnu Gesmi, apji niprurumo nipbuti.

dp komr aPruruai tau toay n ri bokoan tnisuroknmi gaun nikny buti ebru, k kun naes Gesjit w adn nikny buti ebru.

Kmmi ajo psbkn n nRomo tu slmk ri lino siag ri aehr ri but gow.


 

Benteng Somba Opu didirikan pada awal abad ke-16 tepatnya pada tahun 1525 atas usaha Raja Gowa ke-9 Karaeng Tumaparisi’ Kallonna yang kemudian dilanjutkan oleh Karaeng Tunipalangga Ulaweng.

Bangsa asing Eropa yang pertama datang ke Sulawesi Selatan ialah bangsa Portugis. Sejak Malaka takluk tahun 1511, orang Portugis berusaha menguasai kepulauan Maluku yang menghasilkan banyak rempah-rempah. Orang Portugis banyak menghadapi tantangan dari raja-raja di Maluku, demikian pula dari bangsa Spanyol yang lebih dahulu berada di daerah itu. Karena itu orang Portugis berusaha menaklukan Ternate, kemudian dijadikannya basis kekuasaan di daerah Maluku dan mengangkat seorang Gubernur.

Dari Ternate inilah orang Portugis mendapat keterangan bahwa di pulau Sulawesi terdapat kekayaan yang berlimpah-limpah, baik hasil tambangnya, hasil sawah dan kebunnya, maupun hasil lautnya. Oleh sebab itu orang Portugis berlayarlah ke pulau Sulawesi sekitar tahun 1521. Tapi tidak ada hasil yang ia peroleh. Penduduk pantai di bagian selatan Sulawesi bersikap bermusuhan, karena ternyata orang Portugis yang datang itu juga bermaksud mengembangkan agama Katolik, yang ditolak oleh raja-raja di daerah itu.

Barulah pada tahun 1538 orang Portugis dapat berlabuh di bandar Sombaopu menghadap Raja Gowa ke IX Tumapa'risi' Kallongna.

Berdasarkan hasil Zonasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar tahun 2014 Luas area benteng adalah 113.590 m² (11,36 ha) dengan posisi astromis pada titik 05° 11’18 dan 84”LS-05°29’29.67”LS dan 119° 24’06.54”BT- 119°24’27.68”BT

Orang Portugis berusaha mempengaruhi Raja-raja di Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Katolik, akan tetapi tidak berhasil. Apalagi setelah sampai ke tahun 1605 agama Islam sudah mulai masuk ke Istana Raja Gowa dan Tallo dan dari sana menyebar luas ke pedalaman.

Di sekitar tahun 1600 di masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin, Kerajaan Gowa sudah banyak berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa dan Asia. Ibukota Sombaopu yang terletak di selatan kota Ujungpandang sekarang adalah merupakan bandar perdagangan yang potensial sekali di bagian Tengah dan Timur Indonesia.

Semua pelayaran dari Eropa, Asia ke Maluku dan sebaliknya transit di bandar Sombaopu lebih dahulu.

Di tahun 1601 barulah orang Belanda yang sebelumnya berusaha menguasai pulau Banda menaruh perhatian atas bandar besar Sombaopu. Dalam tahun 1607 laksamana Belanda "Cornelis Matelief" yang tadinya menaklukkan Malaka dan merebutnya dari tangan Portugis mengirim seorang saudagar Belanda ke Sombaopu dengan tugas supaya Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XIV bersedia bekerjasama dengan Belanda menaklukan Banda kemudian nanti Belanda mendapat monopoli perdagangan rempah-rempah di Banda, tapi maksud itu ditolak mentah-mentah oleh Raja Gowa.

Belanda menjadi mata gelap, diusahakanlah pengusiran orang Portugis dari Sombaopu, malah menghalang-halangi armada dagang Portugis dan Gowa beroperasi di pulau Banda.

Karena tingkah laku Belanda yang buruk itulah, maka Raja Gowa menyatakan bahwa "negaranya (maksudnya : Kerajaan Gowa dan daerah taklukannya yang meliputi dua pertiga Nusantara dari Timur) adalah menjalankan kebijaksanaan politik terbuka dan bebas untuk semua bangsa-bangsa". Jelasnya bahwa Bandar Sombaopu adalah Pelabuhan Bebas dan Pelabuhan Internasional.

Banyak orang Indonesia, termasuk orang Sulawesi Selatan, bahkan mungkin orang Makassar sendiri tidak tahu di mana letak bandar Sombaopu yang pernah menjadi Ibu Kota Kerajaan Gowa yang besar itu. Ibu Kota Kerajaan Gowa bukan di kota Ujungpandang sekarang, bukan di kota Makassar dahulu. Penduduk kota Makassar atau Ujungpandang kini hanya mengenal sebuah kampung di pinggir pantai dekat kampung Maluku tempat perbelanjaan yang ditembus jalan memakai nama "Sombaopu" ke utara menusuk Kampung Baru.

Posisi benteng tepat terletak di antara dua sungai yaitu sungai Balang baru dan sungai Jene’berang

Di abad ke XVI di masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Tumapa'risi Kallongna beberapa buah benteng telah dibangun. Diantaranya benteng Tallo, benteng Ujungtanah, benteng Ujungpandang, benteng Barombong dan benteng Sombaopu. Raja-raja Gowa sesudah Tumapa'risi Kallongna menambah jumlah benteng-benteng seperti benteng Garasi, benteng Pannakkukang, benteng Galesong, semuanya dibangun untuk mempertahankan wilayah kerajaan dari kemungkinan serangan musuh, baik dari darat maupun dari laut.

Di antara benteng-benteng itu, benteng Sombaopulah yang paling utama karena benteng ini terletak di bandar yang ramai dan sekaligus sebagai Ibukota Kerajaan Gowa.

Letak benteng Sombaopu menurut penulis-penulis Belanda terletak di tepi pantai selat Makassar, ke utara sampai ke Tanjung Alang dengan muara Sungai Je'neberang, pada garis 5°4' lintang selatan,

Penduduk Gowa sekarang sudah kurang yang tahu, bahwa pusat benteng kebanggaan Kerajaan Gowa ini terletak di desa Sapiria, kini termasuk desa Sarombe di Barombong, kecamatan Pallangga, kabupaten Gowa. Benteng ini diapit oleh dua buah sungai yaitu sungai Je'ne'berang di utara dan sungai Ujung Pacu di selatan. Kedua sungai itu merupakan penyanggah alam berbentuk "parit besar” yang melindungi benteng Sombaopu. Benteng itu sendiri menghadap ke barat ke Selat Makassar, Benteng agung ini mempunyai benteng pengawal di sebelah selatan dilindungi oleh benteng Garasi, benteng Pannakkukang, benteng Barombong dan benteng Galesong. Di sebelah utara dilindungi oleh benteng Ujungpandang dan benteng Ujungtanah.

Benteng Sombaopu memakai dinding tembok sekeliling yang 12 kaki tebalnya atau 3,6 meter, sehingga tembok yang tingginya sekitar 7-8 meter dapat dipakai oleh para prajurit mengadakan pengintaian. Di dalam benteng di balik tembok besar keliling itu ditempatkan meriam, bedil dan senjata lainnya yang banyak. Di dalam benteng itulah berdiri Istana Raja Gowa, rumah keluarga, pembesar dan anak bangsawan Kerajaan Gowa. Istana dan rumah-rumah itu dibuat dari kayu besar tiangnya dengan dinding papan dan atap sirap atau nipah, berbentuk rumah panggung khas rumah tipe Makassar sampai sekarang.

Di sekeliling Istana dan rumah-rumah keluarga itu dibangun pula tembok-tembok yang tebal dari batu bata dan batu karang, semuanya dipersenjatai meriam dan bedil.

Di luar tembok berkeliling itulah tempatnya para prajurit Gowa beserta keluarganya, para tukang dan pandai-pandai, para pedagang atau saudagar, para perantau dan pedagang bangsa asing. Sombaopu yang menjadi Ibu Kota Kerajaan Gowa didiami bukan hanya rakyat Gowa, akan tetapi semua suku bangsa yang takluk di bawah kekuasaan Gowa banyak yang datang bermukim di sana seperti orang Bugis, orang Mandar, orang Toraja, orang Selayar, orang Buton dan lain-lain. Bahkan Sombaopu didiami pula oleh orang-orang Melayu pedagang dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor. Orang asing Eropa juga banyak di Sombaopu seperti bangsa Portugis, bangsa Inggeris, bangsa Denmark, bangsa Belanda.

Sombaopu dengan demikian menjadi Ibu Kota Kerajaan Gowa, sekaligus merupakan sebuah Bandar yang besar dan ramai dan pelabuhan internasional di dua pertiga wilayah Indonesia sekarang ke arah timur.

Bila musim Barat tiba, dari bulan Desember, Januari dan Maret pelabuhan Sombaopu disinggahi kapal-kapal dari Eropa dan Asia menuju ke timur ke Maluku untuk membeli rempah-rempah di daerah Maluku. Mereka membawa barang-barang dagangan yang akan dibarter dengan pala dan cengkeh di kepulauan Maluku. Bulan Juni, Juli, Agustus sampai September kapal-kapal itu balik dari Maluku singgah di Sombaopu untuk meneruskan pelayarannya ke Asia atau Eropa.

Begitulah gambaran situasi Sombaopu sebagai Ibukota Kerajaan Gowa di zaman Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XV Sultan Malikussaid dan Raja Gowa ke XVI Sultan Hasanuddin.

Syekh Yusuf yang lahir di tahun 1626 dibesarkan oleh situasi Kerajaan Gowa yang besar kekuasaannya, memegang supermasi dari Sombaopu ke Kutai di Kalimantan Timur, ke Sumbawa, Bima, Dompu, Timor di Nusa Tenggara, ke Marege Utara (Australia), ke Dobu di sebelah timur dan ke Sulu dan pulau-pulau selatan Pilipina.

Benteng Sombaopu merupakan benteng yang berlapis-lapis pertahanannya. Bentuknya persegi empat panjang, dengan sebuah sisinya sepanjang 3 kilometer, tinggi tembok 7 - 8 meter, tebalnya 3,6 meter, sedang didinding yang menghadap Selat Makassar terdapat 4 buah selokoh yaitu tembok yang berbentuk bundar. Disitulah meriam-meriam dipasang. Sedangkan di barat laut yang berhadapan dengan Tajung Alang terdapat sebuah selokoh yang paling besar. Di situlah ditempatkan meriam yang digelar "Anak Makassar" yang sangat besar dan dapat orang masuk berjalan di moncongnya.

Tembok di sisi sebelah timur dan selatan tidak diperkuat dan tidak diberi selokoh, karena menurut perhitungan strategi perang, musuh kebanyakan datang dari barat (laut) atau dari utara. Musuh tidak pernah diperhitungkan datang dari selatan apalagi dari timur.

Sejak benteng Sombaopu berdiri, berkali-kali meriam-meriam musuh terutama Kompeni Belanda (VOC) melakukan serangan, akan tetapi benteng itu tidak dapat dirobohkan.

Tanggal 15 Juni 1639 Raja Gowa ke IV Sultan Alauddin meninggal dunia dan diberi gelar Tumenanga ri Gaukanna (artinya : yang mangkat dalam kebesaran kekuasaannya). Ia digantikan oleh putranya I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung alias Karaeng Lakiung sebagai Raja Gowa ke XV. dengan gelar Sultan Muhammad Said atau Sultan Malikusaid.

Tiga tahun sebelumnya tanggal 1 Oktober 1636 ketika Syekh Yusuf baru berusia 10 tahun, maka Mangkubumi Kerajaan Gowa, Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Mannyonri wafat dan diberi gelar Tumenanga ri Agamana. Ia digantikan sebagai Mangkubumi oleh putranya I Mangadacini Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang, seorang yang luas pengetahuannya, seorang sarjana besar dan menguasai sejumlah bahasa-bahasa asing Eropa dan Arab.

Pada saat Raja Gowa Sultan Malikussaid dan Mangkubumi Karaeng Pattingalloang inilah Syekh Yusuf dinikahkan dengan putrinya Raja Gowa ke XIV I Sitti Daeng Nisanga. Jadi isterinya adalah saudara dari Raja Gowa ke XV ini.

Setelah menikah, maka pada tanggal 22 September 1644 diadakanlah pesta perpisahan oleh Syekh Yusuf yang sudah bersiap akan berangkat ke Tanah Suci. Syekh Yusuf turut menumpang perahu layar yang ditumpangi oleh Karaeng Parangi dari Galesong yang akan berangkat ke Bantam (Banten).

Enam tahun lamanya Syekh Yusuf di Tanah Suci berguru memperdalam ilmu agama Islam, maka dalam tahun 1650 ia balik ke tanah airnya. Akan tetapi tidak langsung ke Gowa. Syekh Yusuf mampir di Bantam dan diminta oleh Raja Bantam Sultan Ageng Tirtayasa untuk sementara menetap di sana mengajarkan agama Islam di Kerajaan yang terletak di pantai utara Jawa Barat, berbatasan dengan Jakarta yang diduduki oleh Kompeni Belanda.

Syekh Yusuf mendapat simpati dari Sultan Bantam dan rakyatnya karena ilmu "tassawuf” yang diajarkannya. Malah pada suatu hari Syekh Yusuf dinikahkan dengan putri Sultan Banten yang bernama Syarifah. Dari isterinya ini Syekh Yusuf memperoleh seorang putra dan seorang putri. Ketika isterinya meninggal dunia, Syekh Yusuf nikah lagi dengan adik isterinya, jadi iparnya. Dengan isteri yang kedua ini pun Syekh Yusuf memperoleh dua orang anak, seorang putra dan seorang putri.

Oleh karena pada waktu itu Belanda selalu mengganggu Kerajaan Banten, maka Syekh Yusuf dalam ajaran agamanya menanamkan semangat perlawanan "fi sabilillah" dan "perang terhadap kafir dihalalkan oleh agama", maka sebahagian besar putra-putra Bantam bangkit berdiri di belakang pendirian Rajanya dan ikut mengangkat senjata bila Kompeni Belanda menyerang.


Sumber : Salah satu dari buku tiga serangkai karya H. A. Massiara berjudul Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa.

Berdasarkan bukti sejarah, maka dapat dipastikan bahwa Sejarah Indonesia sebenarnya harus dibagi tiga periode. Pertama periode Sriwijaya di Palembang, kedua Majapahit di Jawa Timur dan ketiga Gowa di Sulawesi Selatan.

Kerajaan Sriwijaya di abad VII - IX menguasai dinding Barat Nusantara, sedang Kerajaan Majapahit di abad ke IV - ke XV menguasai dinding Tengah dan Kerajaan Gowa di abad XVI - ke XVII menguasai dua pertiga Nusantara dari dinding sebelah Timur. 

Tapi kebanyakan sejarawan kita membagi sejarah Nusantara ini hanya dalam dua periode yaitu periode Sriwijaya dan periode Majapahit. Ini suatu bukti, bahwa data sejarah sangat kurang kita dapati di Tanah Air mengenai periode ketiga ini. Data-data berbentuk "lontara" sejak lama digotong oleh penjajah ke Eropa. Data-data itu sebahagian besar dapat ditemukan di Museum di Belanda, Jerman, Perancis dan Inggris. Pengembalian dokumen sejarah Tanah Air dalam hubungan Kerajaan Gowa dan lain-lain kerajaan di bagian timur Indonesia harus diusahakan demikian rupa dengan tujuan agar generasi penerus kita dapat menerima sejarah Nasional yang sempurna.

Kerajaan Gowa di abad ke XVI - ke XVII berada di puncak kejayaannya, bagaikan suatu imperium yang terbentang dari Ibu kota Sombaopu ke pulau-pulau Kei di sebelah timur, ke selatan sampai ke Marege (bagian utara Australia), ke barat sampai ke Kutai, ke selatan sampai ke Lombok, Sumbawa dan Timor, ke utara sampai ke Pilipina selatan sekarang.

Kekuasaan yang besar ini ditopang oleh dua buah kerajaan bersaudara Gowa dan Tallo yang pada hakekatnya menurut peribahasa Makassar "Rua Karaeng na Se're Ata” (dua raja tetapi hanya satu rakyat). Raja Gowa didampingi oleh seorang Mangkubumi (Bahasa Makassar : Pa'bicara butta) yang secara otomatis dipangku oleh Raja Tallo.

Waktu permulaan terbentuknya kerajaan Gowa purba sampai sebelum diketahui dengan pasti, sebab lontara yang menerangkan hal itu sangat ringkas. Dalam lontara yang menerangkan tentang itu sangat ringkas. Dalam lontara hanya dikatakan, bahwa sebelum diperintah oleh seorang Ratu yang dinamai "Tumanurunga" yang turun dari kayangan, ada 4 raja yang mengendalikan pemerintahan Gowa purba. Keempat raja Gowa itu memerintah negeri negeri kecil bernama :

  1. Tombolo
  2. Lakiung
  3. Saumata
  4. Parang-Parang
  5. Data'
  6. Agang Je'ne'
  7. Bisei
  8. Kalling
  9. Sero'

Sesudah pemerintahan raja yang keempat tidak ada lagi raja yang menggantikannya. Gowa membentuk semacam federasi 9 negeri diketuai oleh seorang pejabat digelar ”Paccalaya".

Dari mana asal kata "Gowa" tidak ada yang autentik bisa dijadikan pegangan. Apakah perkataan itu bahasa Makassar yaitu bahasa yang dipakai dalam kerajaan, juga tidak ada pembenarannya.

Kemudian ada pendapat mengatakan, mungkin nama itu diambil dari nama suatu daerah di India yang juga bernama "Goa", tapi pendapat serupa itu juga tidak kuat dasarnya, karena hubungan apalagi pengaruh India sepanjang sejarah tidak pernah ada di Gowa khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya. Ringkasnya di Sulawesi Selatan tidak pernah ada pengaruh Hindu dan Buddha. Kepercayaan penduduk mulanya adalah "animisme". Kemudian datang ajaran Islam, maka ajaran Islam yang tumbuh di atas reruntuhan paham animisme itu meninggalkan upacara upacara lama yang sudah diadatkan sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan. Jadi Islam di Sulawesi Selatan, terutama di Gowa tidak pernah bertemu dengan sisa-sisa peninggalan Hindu dan Budha.

Raja Gowa ke - 36 ialah raja yang terakhir Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang, Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidit pernah menerangkan bahwa nama "Gowa" itu berasal dari perkataan "GUA", karena di tempat "Tumanurunga" ditemukan tadinya di Tamalate terdapat sebuah GUA yang besar. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa perkataan Gowa ini berasal dari GOWARI yang artinya bilik atau kamar. Entah mana yang benar sampai sekarang belum ada kepastian.

Federasi raja-raja kecil di bawah pimpinan Paccalaya tadi, lama kelamaan kacau karena timbul perselisihan di antara mereka. Tapi kemudian dicapai kata sepakat untuk bersama-sama mencari seorang Raja yang berwibawa. Tidak lama kemudian datang laporan, bahwa di suatu tempat bernama Taka’bassia dalam daerah Gowa ada seorang raja putri yang turun dari kayangan. Maka Paccalaya bersama kesembilan raja-raja kecil itu menemui raja putri yang sangat cantik jelita.

Raja putri itu turun dari kayangan lengkap dengan dokohnya yang indah buatannya, piring dan sebuah istana 5 petak dekat pohon mangga. Maka berkatalah Paccalaya kepada ratu itu "Kami semua datang untuk menjadikan engkau Raja kami.” Maka mulai hari itu pun raja putri tadi diangkatlah menjadi Ratu di Gowa yang pertama dengan gelar "Tumanurunga" artinya orang yang turun dari kayangan.

Cerita Tumanurung bagi cikal bakal raja-raja di Sulawesi Selatan bukan hanya terjadi di Gowa. Tapi juga di Bone, Soppeng dan lain sebagainya.

Tumanurung ini kawin dengan seorang laki-laki dari dua bersaudara yang datang dari Bantaeng. Yang seorang bernama Karaeng Bayo, dialah yang memperisterikan Tumanurunga dan seorang lagi bernama Lakipadada.

Tumanurunga tadi datang kira-kira tahun 1300. Dari saat itu sampai tahun 1400, jadi satu abad lamanya Kerajaan Gowa diperintah oleh 6 orang raja turun-temurun, yaitu :

  1. Tumanurung - kira-kira tahun 1300
  2. Tumassalangga barayang
  3. I Puang Loe ri Lembang
  4. I Tuniyatabanri
  5. Karampang ri Gowa
  6. Tunatangka' lopi.

Bagaimana pemerintahan mereka selama satu abad, sangat kurang ditemukan data-datanya dalam "lontara".

Perkataan "lontara” berasal dari daun lontar yang dipakai sebagai kertas dahulu kala menulis dengan pinsil paku kecil. Hingga sekarang buku-buku yang bertuliskan aksara Makassar disebut "lontara". Malah aksara Makasse: sendiri disebut "aksara atau huruf lontara".

Daun lontar ini diambil dari pohon lontar yang banyak ditanam di daerah Gowa dan di daerah-daerah takluknya dahulu. Sehingga orang, jika hendak mengetahui sampai dimana kekuasaan Kerajaan Gowa dahulu perhatikanlah di tempat yang tumbuh pohon lontar, pasti daerah itu bekas daerah takluk Kerajaan Gowa di abad ke XVI - ke XVII.

Tanaman pohon lontar banyak terdapat di pulau-pulau Nusa Tenggara mulai dari Lombok sampai ke pulau Timor. Malah seorang raja Tallo yang wafat setelah kembali dari pulau Timor memerangi dan menaklukkan negeri itu digelar "Tuammalianga ri Timoro" artinya Yang Wafat di Timor. Historis sebenarnya sebelum Portugis menjajah Timor Timur, daerah itu pernah menjadi daerah kekuasaan Gowa Imperium.

Pada tahun 1400 ketika Gowa diperintah oleh Batara Gowa Tumenanga di Parallakenna sebagai raja Gowa ke VII, terjadi suatu perkembangan besar. Batara Gowa dua bersaudara. Adiknya bernama Karaeng Loe ri Sero. Ketika ayahnya masih hidup yaitu raja Gowa ke VI Tunatangka' lopi daerah kerajaan Gowa dibagi dua karena khawatir timbul perselisihan di antara kedua anaknya laki-laki itu. Pembagian diatur sebagai berikut.

Batara Gowa menguasai : 

  1. Gallarang Paccelekang
  2. Gallarang Pattallasang
  3. Gallarang Bontomanai'
  4. Gallarang Tombolo'
  5. Gallarang Mangasa :

Karaeng Loe ri Sero menguasai :

  1. Gallarang Saumata
  2. Gallarang Pannampu
  3. Gallarang Moncongloe
  4. Gallarang Parangloe.

Di luar daerah Gallarang tadi, ada dua kerajaan-kerajaan kecil yaitu negerinya Karaeng Loe ri Bentang dan Karaeng Loe ri Bira menggabungkan diri dengan Karaeng Loe ri Sero. Mereka menyuruh rakyatnya masuk ke hutan yang bernama hutan "Talloang" dekat sungai Bira mengambil kayu untuk ramuan sebuah Istana bagi Karaeng LoE ri Sero. Tempat itulah kemudian bernama "Tallo” dan kerajaannya bernama Kerajaan Tallo. Kerajaan Tallo yang terpisah dari Kerajaan Gowa, di masa pemerintahan raja Tallo I Mangayoangberang Karaeng Pasi alias Karaeng Tunipasuru mengadakan peperangan dengan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Tumapa'risi Kallongna. Setelah peperangan itu berakhir dengan kemenangan kerajaan Gowa, maka diadakanlah perjanjian antara Gowa dan Tallo yang isinya menyatakan, bahwa barangsiapa yang hendak mencoba mengadu domba Gowa dengan Tallo, akan dikutuk oleh Dewata.

Berdasarkan perjanjian damai itulah maka hubungan antara kedua kerajaan Makassar ini tambah erat, sehingga peribahasa Makassar mengatakan "Ruwa karaeng se're ata" artinya "Dua raja tapi hanya satu rakyat".

Berdasarkan perjanjian itu pula, maka jabatan Mangkubumi Tumabbicara butta di Kerajaan Gowa selalu dijabat oleh Raja Tallo atau turunannya.

Batas kerajaan Tallo ke utara adalah kerajaan Marusu', ke barat selat Makassar, ke selatan sampai di Ujungtanah dan Bontoala, ke timur berbatas dengan Gowa.

Di abad ke XVI dan XVII pada zaman pemerintahan :

  1. Raja Gowa ke XIV I Manga'rangi Daeng Manra'bia Sultan Alauddin, Tumenanga ri Gaukannya (1593 - 1639 ),
  2. Raja Gowa ke XV I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung, Sultan Malikussaid, Tumenanga di Papangbatuna ( 1639 1653 ) dan
  3. Raja Gowa ke XVI I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Balla pangkana. (pahlawan Nasional, 1653-1670 ), adalah puncak kejayaan Kerajaan Gowa dan Tallo.

Sesudah abad itu sampai tahun 1905, karena selalu dalam ketegangan dan sifat permusuhan lawan penjajah Belanda, maka kejayaan itu hari kian merosot, digantikan oleh Kerajaan Bone yang hendak menggantikan kedudukan Gowa sebagai pemersatu seluruh Sulawesi Selatan berdasarkan cita-cita La Tenritatta Aru Palakka, yang kemudian menjadi Raja Bone ke XV (1672-1696).

Rencana itu jelas nampak ketika Raja Bone La Tenritatta Aru Palakka yang tidak mempunyai anak , mengawinkan kemenakannya (anak saudaranya yang perempuan) yang bernama La Patau Matanna Tikka yang kemudian menggantikannya sebagai Raja Bone ke XVI (1696 - 1714) dikawinkan dengan putri Raja Luwu, putri Raja Soppeng dan putri Raja Gowa. Dari perkawinan itu masing-masing memperoleh anak dan anak-anak itu akhirnya menjadi pengikat tali persaudaraan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Kejayaan Gowa yang kini diambil alih oleh Bone, akhirnya juga pada tahun 1905 runtuh, karena Belanda memerangi Bone. Belanda di tahun 1905 melihat bahwa gerak-gerik Bone tidak ada bedanya dengan Gowa dan lain-lain kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak pernah berhenti memusuhi Belanda. Sebab itu pada bulan Juli 1905 armada perang Belanda dikerahkan untuk menyerang Bone, yang waktu itu di bawah pemerintahan Raja Bone ke XXXI (1895 - 1905). Sesudah perang berakhir dengan kekalahan Bone, maka Raja Bone ke XXXI La Pawawoi Karaeng Segeri diasingkan ke Bandung. Raja ini meninggal dunia dalam pengasingan pada tanggal 17 Januari 1911 dan kini dipindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya melawan penjajah Belanda.

Sesudah Bone dikalahkan, maka Belanda beralih ke Gowa yang sama sekali tidak dipercaya akan kesetiaannya terhadap Perjanjian Bungaya yang berulang-ulang kali dibaharui.

Bermacam-macam alasan dituduhkan oleh Belanda kepada Raja Gowa seperti :

  1. Insiden bulan Februari 1905 yang terjadi di Jampue (Sawitto) dicampuri oleh Raja Gowa, karena membela sepupunya di sana.
  2. Banyak provokasi yang sebenarnya dibuat-buat oleh Belanda bahwa Gowa akan menyerang Belanda.
  3. Juga ada provokasi yang mengatakan, bahwa Raja Gowa menghasut rakyat Bantaeng bangkit mengobarkan perang lawan Belanda
  4. Menyembunyikan Arung Labuaja La Page yang turut berperang sebagai Panglima Kerajaan Bone melawan Belanda.

Dan banyak tuduhan lainnya yang sengaja dibuat-buat oleh Belanda sebagai alasan untuk mengangkat senjata.

Pada tanggal 7 Oktober 1905 pasukan Belanda didatangkan dari Pompanua (Bone). Tanggal 14 Oktober 1905 pasukan Belanda diberangkatkan dari Ujungpandang ke Galesong. Belanda mengundang Raja Gowa I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husein, Tumenanga ri Bundu'na (1895-1905) untuk datang ke Ujungpandang membicarakan beberapa persoalan yang gawat di Gowa dengan ancaman bila sampai tanggal 18 Oktober 1905 Raja Gowa tetap menolak tidak akan datang, maka Belanda akan mengangkat senjata. Ancaman itu tidak diperdulikan oleh Raja Gowa dan permintaan Belanda ditolak.

Pada tanggal 19 Oktober 1905 benar serdadu-serdadu Belanda dikerahkan ke Jongaya tempat Istana Raja Gowa. Gubernur Belanda menyampaikan sekali lagi permintaan untuk berunding, akan tetapi Raja Gowa tetap menolak. Maka peperangan yang dahsyat pun terjadi.

Raja dan pengawalnya mundur dari Jongaya menuju ke Limbung dan akhirnya Raja beserta pasukan pengawal menuju ke Barru. Dari Barru Raja Gowa menuju ke Sawitto, di sana bergabung dengan pasukan La Sinrang, putra Datu Sawitto yang juga melawan Belanda,

Karena kekalahan persenjataan, pada suatu hari tanggal 24 Desember 1906 malam, pasukan Belanda berhasil mengepung Raja Gowa di suatu tempat di Sidenreng bernama Waru E. Dalam pertempuran itu Raja Gowa jatuh ke jurang yang dalam dan di sanalah Raja menemui ajalnya sebagai Pahlawan melawan penjajah Belanda. Jenazahnya diangkut ke Gowa dan dimakamkan di Mesjid Raja Jongaya. Raja ini digelar 'Tumenanga ri Bundu'na' artinya Raja yang gugur dalam peperangan.

Barulah sesudah perang tahun 1905 seluruh Sulawesi Selatan dapat dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dengan penuh tipu muslihat.

Khusus mengenai Gowa, Belanda mengadakan reorganisasi pemerintahan agar Gubernemen dapat langsung memerintah. Mula-mula tahun 1910 Belanda usulkan Gowa Barat dijadikan sebuah distrik dipimpin oleh seorang bergelar "Regent”. Distrik itu meliputi 9 buah distrik bawahan yaitu Karuwisi, Mangasa, Tombolo', Boronloe, Saumata, Pattalassang, Borisallo, Manuju dan Parigi. Adapun yang dicalonkan sebagai Regent ialah I Mappanyukki Datu Suppa putra mahkota Kerajaan Gowa. Akan tetapi tawaran itu ditolak.

Tahun 1914 terdapat suatu gerakan yang menggemparkan ialah "Gerakan Tolo" dipimpin oleh I Tolo Daeng Magassing berasal dari Limbung. Ia bersama beberapa orang terkemuka di antaranya Rajamang, Basareng, I Macang Karaeng Bilaji dan lain-lain. Gerakan ini menyerang tangsi-tangsi Belanda baik di Gowa sampai ke Turatea.

Tahun 1925 pemerintah Belanda merobah kebijaksanaan pemerintahannya. Kepada raja-raja diberi kembali kekuasaan-kekuasaan terbatas yang lebih longgar dari semula. Di Gowa sendiri dibentuk Federasi Gowa dipimpin oleh seorang bangsawan Gowa I Tjoneng Daeng Mattayang Karaeng Manjalling merangkap kepala distrik Karuwisi. Tetapi federasi ini tidak tahan lama. Di kalangan pemerintah Belanda timbul pemikiran, bahwa untuk mencapai ketenangan pemerintahan, maka di Gowa perlu diangkat kembali seorang yang berkedudukan sebagai Raja Gowa. Akhirnya pada tanggal 31 Desember 1936 suatu perjanjian pendek "Korte Verklaring” disahkan oleh pemerintah Belanda, yang isinya sebagai berikut :

  1. Bahwa Gowa menjadi bahagian dari Hindia Belanda dan raja Gowa harus setia kepada raja Belanda dan wakilnya yaitu Gubernur Jenderal.
  2. Bahwa raja Gowa tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan asing lainnya. Musuh Belanda adalah musuh Gowa. Sahabat Belanda adalah juga sahabat Gowa.
  3. Bahwa raja Gowa harus mentaati segala peraturan yang ada dan yang akan dibuat atas nama pemerintah Hindia Belanda.

Yang diangkat menjadi raja Gowa ke XXXV I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Nuhibuddin, saudara dari raja Gowa I Makkulau Karaeng Lembangparang yang di tahun 1905 berperang melawan Belanda.

Raja Gowa yang baru itu didampingi oleh I Pabisei Daeng Paguling Karaeng Katapang sebagai "Tumailalang Towa" dan I Tjoneng Daeng Mattayang Karaeng Manjalling sebagai "Tumailalang Lolo".

Lima tahun sebelumnya yaitu di tahun 1931 dalam bulan April Andi Mappanyukki diangkat menjadi raja Bone ke XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim putra Sultan Husein yang gugur dalam perang.

Pada zaman pendudukan Jepang ketika kedua Tumailalang itu meninggal dunia, maka yang diangkat menjadi Tumailang Towa ialah Andi Baso Daeng Rani Karaeng Bontolangkasa (saudara dari kedua almarhum) dan sebagai Tumailalang Lolo ialah Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. putra raja Gowa I Mangimangi Karaeng Bontonompo alm.

Dalam tahun 1946 di zaman NIT (Negara Indonesia Timur) raja Gowa I Mangimangi Karaeng Bontonompo wafat. Sejak waktu itu disebut "Tumenanga ri Sungguminasa". Beliau digantikan oleh putranya Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdulkadir Aididdin. Beliau baru dilantik pada tanggal 25 April 1947, walaupun pengangkatannya sudah disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 5 September 1946.

Untuk membantu raja Gowa yang baru ini diangkat 5 orang pejabat tinggi yaitu :

  1. Andi Baso Daeng Rani Karaeng Bontolangkasa (tadinya Tumailalang Towa) diangkat sebagai Pabbicara Butta.
  2. Andi Manrurungi Daeng Muang Karaeng Sumanna sebagai Tumailalang Towa,
  3. Andi Mappasiling Daeng Ngeppe Karaeng Sapanang sebagai Tumailalang Lolo,
  4. Andi Laoddangriu Karaeng Bontonompo sebagai Tukajannangan,
  5. Hamzah Daeng Tompo Gallarang BorongloE sebagai Paccalaya. 82

Pada zaman Negara Indonesia Timur (NIT) dalam kurun waktu 1946-1950, Raja Gowa Andi Idjo Karaeng Lalolang diangkat menjadi Wakil Ketua Hadat Tinggi yaitu majelis pemerintahan Gabungan Selebes Selatan. Yang menjadi Ketua Hadat Tinggi adalah Raja Bone Andi Pabbenteng Daeng Palawa.

Hadat Tinggi ini mengalami goncangan yang hebat setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) terbentuk, sebagai hasil KMB (Konperen Meja Bundar, Desember 1949). Gelombang demonstrasi melanda kota Makassar, rakyat minta supaya NIT dibubarkan dan seluruh Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia Kesatuan yang berpusat di Yogyakarta. Kegoncangan politik ini melanda pula Hadat Tinggi. Wakil Ketuanya Raja Andi Idjo mengambil alih pimpinan sebagai Pejabat Ketua pada tanggal 25 April 1950 daerah Sulawesi Selatan dinyatakan keluar dari ikatan ketatanegaraan NIT dan menggabung langsung ke dalam Repbulik Indonesia kesatuan pusat Yogyakarta.

Gelombang demonstrasi-demonstrasi ini dipelopori oleh pemuka-pemuka politik dan para pejuang revolusi yang baru bebas dari tawanan Belanda dan pada tanggal 5 Februari 1950 berhasil mengadakan Kongres di Polombangkeng yang melahirkan Biro Pejuang Pengikut Republik Indonesia disingkat Biro PPRI diketuai oleh Yusuf Bauti.

Di seluruh daerah di Sulawesi Selatan dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI), di mana pemerintahan Raja-Raja diganti dengan pemerintahan sipil sesuai Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah No. 22/1948.

Pemerintahan Hadat Tinggi di Sulawesi Selatan dirobah, DPRDnya dengan menambah anggota dari unsur pejuang. Dalam salah satu sidang DPRD Sulawesi Selatan dan Tenggara di bawah pimpinan Ketua Andi Burhanuddin, seorang Republikein diterima suatu mosi yang diberi nama "Mosi Massiara". yang menghendaki dilaksanakannya secara de facto dan de yure Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah RI No. 22/1948, yaitu di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara yang tadinya terdiri atas 7 daerah yang disebut "Afdeeling", dirobah namanya menjadi Daerah Kabupaten. Daerah dimaksud adalah :

  1. Kabupaten Makassar,
  2. Kabupaten Bantaeng,
  3. Kabupaten Bone,
  4. Kabupaten Pare-Pare,
  5. Kabupaten Mandar,
  6. Kabupaten Luwu,
  7. Kabupaten Buton dan Laiwui,

Realisasi dari mosi yang diterima ini barulah dilaksanakan pada tahun 1952 dimana Pemerintah Gabungan Selebes Selatan dibubarkan dengan Peraturan Pemerintah Pusat, kemudian diciptakan 7 buah daerah Kabupaten yang otonom di atas bekas "Afdeeling" berdasarkan UndangUndang NIT 1950 no. 44 tapi yang setingkat kabupaten swatantra tingkat II menurut Undang-Undang 1948 No. 22 dari Republik Indonesia Yogyakarta.

Baru pada tanggal 6 Februari 1957 Raja Gowa Andi Idjo Karaeng Lalolang diangkat menjadi Kepala Daerah Gowa oleh Menteri Dalam Negeri di Jakarta, sehingga sejak waktu itu beliau menjadi pegawai negeri dan Swapraja Gowa memasuki pembubarannya secara de facto dan de jure.

Demikianlah akhir kerajaan Gowa yang sejak abad ke XIV sampai abad ke XVII merupakan Kemaharajaan yang menguasai dua pertiga wilayah Nusantara dan pada tahun 1905 masih melakukan perang melawan penjajah Belanda. Hal yang serupa juga berlaku atas semua kerajaan-kerajaan yang tadinya menjadi daerah kekuasaan atau daerah sahabat dengan kerajaan Gowa yang banyak tersebar di seluruh Nusantara.

Di bumi bekas kerajaan Gowa yang besar itulah kini berbaring dengan tenangnya seorang putranya yang taat kepada agamanya Islam, seorang ulama tapi dia juga seorang pejuang kemerdekaan mengangkat senjata membantu mertuanya Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Namanya Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa.

Sumber : Salah satu dari buku tiga serangkai karya H. A. Massiara berjudul Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa.

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601833"/]


Lirik Lagu

Tuna La'leang Kalenna


Ero'na todong nyawanu

Alla' leangi kaleng nu

Ma' bongong palla' pa'mai'

Appalikang takkaluppa


Tena mo nu mangngu'rangi

Simpung ri giring tope nu

Pa' risi' ri pa'lungang nu

Nakku' ri pa'juluiya


Anja mami ta makkio'

Padatari tammuntuli

Nu asseng nyawaku saung

Na nu passalasa tonja


Keremi la ku anyukang

Laku pammelaki simpung

Lompoi anne linoa

Lompoangngang salasa ku


Cipta : Abidinsyam / A. Lewa

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601863"/]


Lirik Lagu

Tappu' Kana


Sallo mi ku pariati andi

Ku antalai kana panjarre' kinnu

Ri nia' nu ta' bialo muri - muri

Pa' pasang nu le'ba' laloa


Ganna' bulang lalo taung andi

Ki si tinriang nakku' ri nyawaku

Ri nia' nu ta' kimbolong minasang ku

Ki si rurungang ri ma te'nea


Tena ta' ti'la' ri ating ku andi'

I kau la' passalasa

Langngerang tappu' kana

Pamma'risi ri tallasa' ku


Le'ba' ku tinrang ku rapang bine

Ka passarenu mange ri nakke

Ku antalai la' cu'la' ri atingku

Na' rappo te'ne ri tallasa' ku


Cipta : Abdullah Sijaya

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601878"/]


Lirik Lagu

Reso Resoku


Sayang na reso - resoku

Pa'mai' ku parampea

E aule palla' jarina

Tangngu'rangi balasa' na


Leoka' naku annya'la

Resoku takabilangngang

E aule kasi - asiku

Kutaeng ni pannangngari


Lino tangngaimi kapang

Ku empoi ma' minasa

E aule sese' rapangku

Tena tommi sombere'na


I nakke ku mapparampe

Ta la sunggua ku itung

E aule ku leo' - leo'

Ku kana mi samboritta


Cipta : Arsyad Basir

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601893"/]


Lirik Lagu

Pangngai Tamatappukku


Rapang bulang sioro' na

Bintoeng ma' kilo - kilo

Na cora kamma

Singara ka ri rupannu


Ta majule ku kayao

Ku alle ku sikko cincing

Ampe - ampe nu

Bate nu ngerang pa'mai


A'jari mi salampari

Tampajannangi tinroku

Angngali - ali

Tuli nia' ri matangku


Kontu bunga ni pacu'la

Ku pa lamba' ri ating ku

Na si tinriang

Pangngai ta ma tappu' ku


Cipta : Abidin Syam

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601908"/]


Lirik Lagu

Pangngai Le'ba Laloa


Apai saba' lanrinna

Nanubokoa' ri ati

Nia kutaeng

Pangngainnu ri maraeng


Ka'deji kuasseng memang

Nanubokoja' ri ati

A'boya tonja

Isseng-isseng ri maraeng


Nia' tonja antu sallang

Nanuboya' ri pa'mai

Nu makuta'nang

Nu ngu'rangi mole-mole


Jai apung jinne paleng

Pa'mai kuparampeang

Jai naninring

Pangngai le'ba laloa


Cipta : Rachmansyah / Latif Basir

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601938"/]


Lirik Lagu

Pakacaping


Lantang bangngi kummuriang

Nakum bangung mappidandang

Ri langngerekku

Pakacaping kelong kelong


Nampai ma bellla bella

Naerang anging mammiri

Na rammang rammang

Sa'ra datte kacapinna


Ko'bi ko'bi' sikalinna

Tokko tokko na kelonna

Nasi'na kamma

Pakarawang rawang kamma


Kacapinna ngerang nakku

Gallanna pa' kuring kuring

Ko'bi' kobi' na

Appa battu dinging dinging


Cipta : Abidinsyam / A. Lewa

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601953"/]


Lirik Lagu

Le'ba Gangga Na Paria


Punna ku gappa ku itung

Ri wattunta si leporang

Ri singain ta

Rapang nyawa na tubua


Bateta si katutui

Lantang pa siama kanta

Mann batara

Malla' ngaseng malla' gasi


Runtung mi bulu' ruaiya

Sosara' bawakaraeng

Aule ki sila'leang

Kontu langi' na buttaiya


Tena memang tommo kapang

Pare' pa siama kanta

Sangkamma mami

Minnya' ma'leoka je'ne'


Cipta : Masno / Madong B

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228601995"/]


Lirik Lagu

Barang Sare Lamatua


Kubuang nakusambei

Kupela leko sikekke

Mannete bombang

Mammaling se'reang bori'


Reff....

Kusomba anne sarengku

Kumodallangi nyawaku

Isseng pi so'na

Barang sare la mattua 


Mingka apala kuasseng

Sarengku mangantalai

Simpungku bokong

Salasa ku tarampei 


Battusi tena rappangna

Simpung tena njorenganna

Makkale kukang

Ribori tau maraeng 


Cipta : Hasmunisa / A Dg Magading / Madong B

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Iwan Tompo adalah salah satu penyanyi asal dari Makassar, lahir pada 6 September 1956, terkenal dengan sebutan sang maestro lagu-lagu Makassar. Ia lahir dari pasangan Abdullah Tompo dan Saripa, dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai jasa kopra atau jasa penjual hasil bumi.


Audio MP3

[soundcloud src="1228602016"/]


Lirik Lagu

Apa Dudumi Kutaeng


Nu pakallasa' atingku

Nu pabenrong bina' bakku

Ku kasu'mang na

Kalengku ni ka la'bai


Apa dudumi kutaeng

Gaukku tanu ngai

Nu palla' kamma

Nu tammaling maling kamma


I nakke barang ku kana

Na tulusang pangngainnu

Na mannannungang

Nu erang lingka ri anja


Nyawa lamminra ji paleng

Pa'mai' tamannojengang

Ku alle jima

Na ku' giling ja salasa


Cipta : Rachmansyah

Dipopulerkan oleh Iwan Tompo

Lirik lagu ini lebih mirip ke pantun pinuntun yang tidak menjelaskan arti yang sebenarnya. Arti lagu ini sendiri lebih menuntun para pendengarnya ke pemikiran dengan asumsi yang mungkin sedikit lebih bebas.


Audio MP3

[soundcloud src="1227810145"/]


Lirik Lagu

Garring Apami I Nona


Nanipakkarammulai 

lagu lagu turatea


Nanipakkarammulai 

lagu lagu turatea


lagu laguna pangngu'rangi


Caddi caddiko nukebo

halusu ribannang roda


Caddi caddiko nukebo

halusu ribannang roda


tanre callanu

numantang lolo bangko 


lolo bangko mi inona

jappo pelaka susunna rikodong


lolo bangko mi inona

jappo pelaka susunna rikodong


mattayang baba

manna acnce tamania


garring apami inona

nanaruntung kulambuna


garring apami inona

nanaruntung kulambuna


garring koccikang

garring lebba niladai


niladai mi inona passé dudui nakasia

kaanjo ibaba passe dudui ladana


kadde nakke tau lolo

eroja ripatorani

manna maorasa juku

kateaiji rasanna

niparalluang anjioo bone koccikanna


punna erokko rinakke

pinra pinrai balalanu

pintujunganre

sijaiyyang balanjanu


kautinro riballanu

nakke tinro riballakku 2x


ikau muriang

inakake kayu kayuang 


onde- onde tamate'nne

kope langi tamajanna


onde- onde tamate'nne

kope langi tamajanna


bate parena

bine pakkimburuang 


susah tomma takkimburu

ga'ga duduki kucini

mallaka nakke

nasambeang angkoronni


adahai adikku sayang

aku cinta kepadamu

apapun yang engkau minta

assala teai doe

kanjo inakke parallu tonja ri doe'


batturate ma ribulang

akkutanang ribintoeng


batturate ma ribulang

akkutanang ribintoeng


bunting jako sallang

punna nia doenu


tinggi tinggi kalukua

mana para layang-layang

aule kuambi tonji

punna siri tappela.


Lagu ini familiar dinyanyikan oleh Kahar HS

Lagu ini adalah ciptaan dari Almarhum Abdullah Sijaya. Isi dari lagu ini adalah di mana pun kaki kita berpijak, selalu menjaga kehormatan dan nama baik, tetaplah memiliki harapan yang bisa membawa perubahan ke kehidupan yang lebih sejahtera.


Audio MP3

[soundcloud src="1227810964"/]


Lirik Lagu

Minasa Ri Bori'ta


Mangku Mamo Mabella

Nia'ma' Ri Se'reang Bori'

Ansombalangi

Sare Kamasengku

Passare Batara


Mannamonjo Nakamm

Pangngu'rangingku'

Ri Kau tonji

Ka butta la'biri'

Passolongang ceratta'

Ri Bawakaraeng


Sereji Kupala'

Ri julu boritta

Sirikaji Tojeng

Solanna Nania

Areng Mabajita


Nakima' Minasa

Te'neki Masunggu

Nanacini' Todong

Bori' maraengang

Sarroa Mangngakkali

Ri Kajamuanta'


Terjemahan

Harapan pada Negeri Kita


Walaupun Kita Berada jauh

Di suatu Tempat

Dimana saya mengembara

Mengadu nasib yang merupakan Takdir yang Kuasa


Meskipun Begitu

Namun ingatanku selalu tertuju padamu

Pada tanah yang kita banggakan

tempat Tumpah darah

di Lembah Gunung Bawakaraeng


Hanya Satu yang Kupinta

Kepada saudara saudaraku

untuk sungguh sungguh menjaga kehormatan

sehingga kita memiliki

Nama baik di mata orang lain


Dan tetaplah memiliki harapan

Untuk Hidup sejahtera

sehingga orang lain dapat melihat

kemajuan bangsa Kita


Cipt : Alm Abdullah Sijaya


Kebudayaan berasal dari kata dasar budaya, dan kata budaya ini berasal dari Bahasa Sansekerta yakni buddhayah yang memiliki arti akal atau budi. Jadi, kebudayaan merupakan suatu hal yang berhubungan dengan akal serta budi. Kata budaya dalam Bahasa Inggris disebut dengan culture, dan Kata culture sendiri berasal dari Bahasa Latin yakni colere yang memiliki arti dalam mengolah atau mengerjakan, di dalam konteks ini merupakan mengolah tanah atau juga bertani. Colere atau culture tersebut juga diartikan yakni sebagai usaha manusia di dalam mengolah alam.

Di luar dari pengertian tersebut adalah bagaimana terciptanya budaya ini disebabkan adanya keberagaman atau kompleksitas kebutuhan (needs) dari manusia itu sendiri. Kebutuhan itu muncul yang kemudian menjadi penyebab bagaimana cara pemenuhan kebutuhan itu. Beberapa pemenuhan kubutuhan bisa berupa menggunakan, memakai, hingga mengekspresikan dari ide menjadi sebuah karya.

Ragamnya kebutuhan yang harus dipenuhi, kini membuat manusia selalu berpikir dan salah satunya adalah dengan cara mengekspresikannya dari sebuah ide kedalam berbagai wujud seperti musik, lukisan hingga tulisan. Tulisan membuat jalinan komunikasi dengan metode baca tulis. Orang yang mengerti dengan isi dari sebuah tulisan, maka orang tersebut akan mendapatkan pesan dari penulisnya berupa informasi, berita, kabar baik, ungkapan perasaan dan sebagainya. Maka dari itu, sangat diperlukan untuk mengenali huruf yang digunakan dari sebuah tulisan tersebut.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatat firman-firman Tuhan, karena itu tulisan terlihat begitu sakral dan terkadang dirahasiakan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berbagai kompleksitas kehidupan yang dilalui manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan, begitupun pun aneka karya tulisan yang dikreasikan sangat menyentuh nilai-nilai dan jiwa seni dari manusia itu sendiri.

Tulisan dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya, seperti konsep menghindari lupa adalah dengan menulis, mengikat ilmu pengetahuan adalah dengan menulis, dan sebagainya.

Adapun manfaat diciptakannya tulisan dari beberapa sumber yang admin jadikan acuan adalah:
  1. Sebagai Pengingat
  2. Dapat memperluas jarak komunikasi
  3. Sebagai Manuskrip atau sarana untuk meninggalkan pesan (Ilmu Pengetahuan) yang dapat dipelajari oleh generasi mendatang
  4. Sebagai Sistem Sosial Kontrol
  5. Sebagai Media Interaksi, dan
  6. Sebagai Fungsi estetik

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, tentunya dapat dilihat sendiri bahwa ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf tulisan berdasarkan budaya dari suku bangsa itu sendiri, dan beberapa suku bangsa dengan pengenalan tulisannya itu punya khas trsendiri seperti Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan Budaya Makassar.

Di sulawesi selatan berdasarkan perkembangannya terkhusus budaya Makassar, itu terbagi tiga yaitu :
  1. Lontara Jangang-jangang
  2. Lontara Bilang
  3. Lontara Belah Ketupat (Lontara Moderen biasa disebut Aksara Sulapa Appa)

Semua jenis huruf selalu diawali dengan lontara, lontara ini adalah sebuah makna yang berarti penulisan jenis huruf tersebut dilakukan di atas daun lontar, dikarenakan pada awalnya memang tulisan tersebut dituliskan di atas daun lontar.

A. Lontara Jangang-jangang


Lontara ini bermula karena perintah dari Karaeng Tumapa’risik Kallonna untuk membuat hurup Makassar. Maka oleh Daeng Pamatte’ pun melaksanakannya dan berhasil memenuhinya. Daeng Pamatte’ akhirnya kemudan berhasil membuat Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf, dan huruf-huruf lontara yang diciptakan oleh Daeng Pamatte’ disebut Lontara Jangang-Jangang (burung). Ciptaan Daeng Pamatte inilah yang dikenal dengan istilah Lontara Tua (het oude Makassarche letters chrif) dan disebut Lontara Jangang-jangang karena bentuknya seperti burung.

Sumber : Buku harian Pangeran Gowa koleksi Tropenmuseum, no koleksi KIT 668-216

Jenis aksara Lontara ini tercipta dengan memperhatikan atau merujuk pada bentuk burung dari berbagai gaya, seperti bentuk burung yang sedang terbang pada huruf “Ka”, kemudian bentuk burung saat hendak turun ke tanah dapat dilihat pada huruf “Nga”, bentuknya mulai dari ekor, badan dan leher membentuk huruf “Nga”. Lontara Jangang-jangang ini pernah digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya.

B. Lontara Bilang


Huruf-huruf yang diciptakan oleh Daeng Pamatte' yakni Lontara Jangang-Jangang, terus mengalami perkembangan dan perubahan sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut tidak hanya dari segi bentuknya saja, melainkan jumlah hurufnya pun bertambah sesuai kebutuhan saat itu, dari jumlah huruf 18 menjadi 19 dengan adanya penambahan satu huruf lagi yakni huruf “ha” sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).

Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Gowa, maka bentuk huruf yang digunakannya pun ikut mengalami perubahan mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 disesuaikan sebagai huruf “ka”, lalu angka Arab nomor 2 dengan kombinasi titik di bawahnya diberi dijadikan sebagai huruf “Ga”. Kemudian lagi dari angka tujuh dengan titik di atas dijadikan sebagai huruf “Nga”, juga pada bilangan arab lainnya sebanyak 18 huruf, ditambah dengan huruf "ha" menjadi 19 huruf.

Disebabkan pendekatan hurufnya adalah berupa angka atau bilangan Arab, maka Aksara Lontara ini disebut Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639).

C. Lontara Belah Ketupat


Dari huruf bilang-bilang hingga ke abad 19, terus mengalami perubahan dan disederhanakan dengan mengambil bentuk huruf dari Belah Ketupat (Sulapa Appa). Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Lontara tersebut? Menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui.

Tetapi dapat disimpulkan bahwa penyederhanaan ini terjadi setelah masuknya Islam sebagai agama resmi di kerajaan Makassar. Islam memberikan pengaruh yang sangat besar pada perubahan budaya yang terjadi di Kerajaan Makassar, termasuk huruf dan tulisan.

Adapun huruf tambahan akibat dari pengaruh masuknya Islam dari bahasa arab adalah huruf “Ha”. Menurut Mattulada justeru Daeng Pamatte' jugalah yang menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, maksudnya lengkap dengan huruf "ha" nya, yaitu 19 huruf.

Namun, untuk bentuk penulisan hurufnya adalah penyesuaian dari masa ke masa hingga sampai sekarang.

Lalu dari ke-19 huruf Aksara Lontara itulah yang kemudian dalam perkembangannya lagi untuk keperluan bahasa, maka ditambahkan empat huruf lagi, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi 23 huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Belah Ketupat. Karena belah ketupat memiliki empat sisi, sehingga orang Makassar kadang menyebutnya Lontara Sulapa Appa, dan orang Bugis menyebutnya Lontara Sulapa Eppa.

Aksara Lontara ini kadang disebut juga Lontara Moderen atau Lontara yang paling terbaru. Lontara inilah yang saat ini digunakan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Lontara ini berkembang di abad XVIII - XIX

Ada juga pendapat bahwa bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari dua kata, yaitu wala yang berarti pemisah atau pagar atau penjaga, dan suji sendiri yang berarti putri. Jadi Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat.

Budaya Makassar dan Bugis bisa dikatakan salah satu budaya yang beruntung dari beberapa budaya yang ada di Indonesia, karena ada bukti sejarah yang bisa disuguhkan ke generasi sekarang, yakni budaya tulisan yang dikenal dengan aksara lontara. Adapun Aksara Lontara yang digunakan saat ini adalah Aksara Lontara Sulapa Appa yang digunakan oleh orang Makassar dan Bugis.

k
ka
ki
ki
ku
ku
ek
ke
ko
ko
g
ga
gi
gi
gu
gu
eg
ge
go
go
G
nga
Gi
ngi
Gu
ngu
eG
nge
Go
ngo
K
ngka
Ki
ngki
Ku
ngku
eK
ngke
Ko
ngko
p
pa
pi
pi
pu
pu
ep
pe
po
po
b
ba
bi
bi
bu
bu
eb
be
bo
bo
m
ma
mi
mi
mu
mu
em
me
mo
mo
P
mpa
Pi
mpi
Pu
mpu
eP
mpe
Po
mpo
t
ta
ti
ti
tu
tu
et
te
to
to
d
da
di
di
du
du
ed
de
do
do
n
na
ni
ni
nu
nu
en
ne
no
no
R
nra
Ri
nri
Ru
nru
eR
nre
Ro
nro
c
ca
ci
ci
cu
cu
ec
ce
co
co
j
ja
ji
ji
ju
ju
ej
je
jo
jo
N
nya
Ni
nyi
Nu
nyu
eN
nye
No
nyo
C
nca
Ci
nci
Cu
ncu
eC
nce
co
nco
y
ya
yi
yi
yu
yu
ey
ye
yo
yo
r
ra
ri
ri
ru
ru
er
re
ro
ro
l
la
li
li
lu
lu
el
le
lo
lo
w
wa
wi
wi
wu
wu
ew
we
wo
wo
s
sa
si
si
su
su
es
se
so
so
a
a
ai
i
au
u
ea
e
ao
o
h
ha
hi
hi
hu
hu
eh
he
ho
ho

Aksara lontara ini, di mana yang menggunakannya adalah orang Makassar dan orang Bugis memang tidak dapat dipisahkan, karena tulisan lontara telah merekam nilai-nilai luhur (indigeneous knowledge) budaya Makassar dan Bugis yang biasa disebut dengan pappasang (Makassar) atau paseng (Bugis) yang artinya 'pesan-pesan' berupa panngadakkang (Makassar) atau panngaderreng (Bugis) yang artinya "adat istiadat".

Aksara Lontara juga digunakan untuk mencatat manuskrip-manuskrip dari peristiwa atau kisah yang telah terjadi di masa lampau. Aksara lontara juga merupakan lambang identitas suatu daerah dan merupakan nilai luhur budaya orang Makassar dan Bugis, serta sebagai alat transformasi informasi dari nilai-niai luhur yang sangat berharga.

Aksara lontara adalah salah satu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata budaya daerah. Selain itu, dapat menjadi aset dan sumber pengembangan budaya nasional.



MKRdezign

{facebook#https://www.facebook.com/100078693382572} {twitter#https://twitter.com/MakassarSuku} {pinterest#https://id.pinterest.com/bijamakassar} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCa9fITNc61nClCCeI-4LIUw} {instagram#https://www.instagram.com/bijamakassar}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget